Senin, 19 September 2011

JIKA GURU HARUS MENGAJAR 27,5 JAM PERMINGGU


JIKA GURU HARUS MENGAJAR 27,5 JAM PER MINGGU
Oleh TOTO WARSITO,MAg

Persetujuan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh atas usulan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) mengenai penambahan jam mengajar minimal guru, dari 24 jam menjadi 27,5 jam per minggu, menjadi pembicaraan hangat kini di kalangan guru. Meskipun ini baru wacana tetapi berita ini mulai membuat geger kalangan guru. Betapa tidak, jangankan untuk memenuhi 27,5 jam seminggu, untuk 24 jam saja  seperti yang diwajibkan saat ini, baru 30-40 persen saja guru yang sanggup memenuhinya seperti yang disampaikan Ketua Umum PB PGRI Sulistyo. (Radar Cirebon,10/9).
Rencana penambahan jam mengajar sendiri disampaikan oleh Deputi Sumber Daya Manusia dan Aparatur Kemenpan-RB Ramli Naibaho. Menurutnya motivasi di balik rencana penambahan jam mengajar ini bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja guru.
Mendiknas, M Nuh mendukung hal tersebut namun jam mengajar guru jangan hanya dihitung dari berapa jam ia mengajar di depan kelas. Tetapi juga hendaknya dihitung berapa jam para guru menyiapkan hal-hal lain yang mendukung dan terkait dengan proses belajar-mengajar. Persis dengan apa yang disampaikan Ketua Umum PB PGRI Sulistyo, dia berharap jika kegiatan profesi guru yang lain di luar kelas seperti mempersiapkan materi, melakukan pembimbingan siswa, termasuk mengoreksi nilai  dan melakukan analisis juga dimasukkan dalam poin. Bahkan teman saya ada yang berseloroh, ya kalau begitu 34 jam juga tidak masalah.
Namun yang menjadi masalah adalah ketika Kemenpan-RB menganggap bahwa 27,5 jam itu adalah tatap muka di depan kelas. Hal ini yang akan memberatkan para guru. Betapa tidak, bisa dibayangkan bagi guru-guru yang mengajar di sekolah menengah (SMA/SMK) misalnya, yang memiliki alokasi waktu hanya 2 jam per minggu seperti guru PAI, Pkn, Seni Budaya dan lainnya. Berarti, untuk memenuhi kewajiban minimal mengajarnya  ia harus mengajar di 14 kelas untuk seorang guru. Jika di sekolah tersebut terdapat dua guru mata pelajaran yang sama berarti harus ada 28 kelas. Bila dibagi berdasarkan tingkatan kelas, berarti minimal harus tersedia 9 kelas per tingkatan. Apalagi jika guru mata pelajaran yang sama di sekolah tersebut lebih dari dua. Yang paling membuat para guru stress dalam menghadapi kebijakan ini adalah manakala hal ini terkait dengan persyaratan pencairan tunjangan profesi bagi guru yang sudah lulus sertifikasi. Dengan tidak bisa memenuhinya minimal beban kerja guru, berarti akan banyak guru yang tidak akan mendapatkan tunjangan profesi.
Yang menarik bagi penulis adalah pernyataan Mendiknas M Nuh yang membolehkan para guru untuk mengajar mata pelajaran lain selain yang diampunya untuk memenuhi beban kerja tersebut. Pernyataan ini sekilas agak bertentangan dengan prinsip profesionalisme, yang diartikan secara sempit sebagai mengajar sesuai dengan kompetensinya. Agak membingungkan memang.
Tetapi setelah penulis membaca pernyataan Mendiknas, penulis teringat pada teori yang disampaikan Neil Postman dalam bukunya The End of Education (2005), Postman mengemukakan gagasan yang agak lucu. Dia hendak meningkatkan kamampuan seorang guru untuk mengajar dengan baik hanya dalam waktu semalam. Caranya, para guru matematika ditugaskan mengajar kesenian, guru-guru kesenian mengajar ilmu pengetahuan alam, guru ilmu pengetahuan alam ditugaskan mengajar bahasa Inggris. Alasan dia, kebanyakan guru, terutama di tingkat sekolah menengah atas, mengajarkan mata pelajaran-mata pelajaran yang menurut mereka bagus dan menarik, atau pada intinya mereka menyukai pelajaran tersebut. Mereka menganggap pelajaran itu mudah dan menyenangkan. Hasilnya, mereka tidak  mungkin memahami bahwa orang-orang lainnya ternyata tidak menyukai pelajaran-pelajaran itu, atau mereka tidak mempedulikannya, atau bahkan kedua-duanya. Apabila selama satu semester setiap guru ditugaskan mengajar satu mata pelajaran yang tidak dia sukai, atau pelajaran yang bisa menimbulkankesulitan-kesulitan baginya, maka guru itu akan dipaksa melihat situasi yang juga dialami oleh para siswa, dia akan melihat sesuatu dari pandangan guru pemula daripada guru senior. Barangkali dia akan menyadari betapa menjemukannya buku-buku teks. Mereka akan belajar memahami betapa menggelisahkannya rasa takut yang kemudian berakibat pada kekeliruan. Mereka barangkali akan menyadari bahwa sebuah pertanyaan yang mengandung rasa ingin tahu, harus diabaikan karena pertanyaan seperti itu tidak termasuk dalam silabus. Atau mereka akan menjumpai adanya siswa-siswa yang mengetahui pelajaran secara lebih baik daripada apa yang diketahui dan diharapkan oleh dirinya.  Semoga saja apa yang disampaikan Mendiknas adalah dalam rangka ini.
Kaitannya dengan pemenuhan jumlah jam mengajar, belum lama ini ada edaran dari Kemendiknas tentang Peraturan Menteri  Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 30 tahun 2011 tertanggal 1 Agustus 2011 yang berisi Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 39 tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan. Permendik nas No 30 tahun 2011 pada pasal 5 dinyatakan dalam jangka waktu sampai 31 Desember 2011, guru dalam jabatan yang bertugas selain di satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada pasal 3, dalam keadaan kelebihan guru pada mapel tertentu di wilayah kabupaten/kota, dapat memenuhi beban mengajar minimal 24 jam tatap muka dengan cara, a) mengajar mapel yang paling sesuai dengan rumpun mapel yang diampunya dan/mengajar mapel lain yang tidak ada guru mapelnya pada satuan administrasi pangkal atau satuan pendidikan lain; b) menjadi tutor program Paket A, B, C, Paket C Kejuruan atau program pendidikan lain; c) menjadi guru bina/pamong pada sekolah terbuka; d) menjadi guru inti/instruktur/tutor pada kegiatan kelompok kerja guru/musyawarah guru mapel (KKG/MGMP); e) membina kegiatan ekstrakurikuler; f) membina pengembangan diri peserta didik; g) melakukan pembelajaran bertim (team teaching); h) melakukan pembelajaran perbaikan (remidial teaching).
Meskipun nampaknya pemerintah dalam hal ini sudah memberikan solusi, namun jika betul pemerintah ingin meningkatkan kinerja para guru, harusnya pemerintah memiliki tata cara yang lebih baik dan betul-betul memperhatikan kondisi guru di lapangan. Kita dukung harapan dari PB PGRI agar pemerintah lebih dulu menuntaskan persoalan pembinaan guru yang sudah berjalan seperti masalah sertifikasi     agar betul-betul menyentuh terhadap peningkatan profesionalisme guru, semoga. Wallahu’alam.
Penulis
Guru SMAN 1 Rajagaluh, Ketua Asosiasi Guru Penulis
Sekum AGPAII Kab. Majalengka

1 komentar:

  1. Saya sependapat dengan penulis di atas.Pemerintah sebaiknya melihat langsung bagaimana kondisi di lapangan, apalagi di sekolah swasta yang baru berkembang di sekolah negeri yang kelasnya banyak pun masih ada yang belum memenuhi jam tatap muka. Ini memjadi masalah besar apalagi dikaitkan dengan tunjangan sertifikasi, tunjangan bisa tidak turun kalau jumlah jam mengajar tidak 24 jam.Katanya pemerintah dengan adanyasertifikasi ingin menyejahterakan guru, tapi kenyataannya membuat guru menjadi stres. Harus diingat kerja guru menghadapi makhluk hidup berbeda dengan pekerjaan yang hanya menghadapi kertas, mestinya pemerintah menganalisis bagaimana repotnya menjadi guru,selain menghadapi siswa dengan berbagai karakter dan berbagai latar belakang juga harus membuat administrasi guru yang seabreg banyaknya,bukan pekerjaan yang mudah. Jangan hanya melihat sepintas dari luarnya saja yang kelihatan santai.

    BalasHapus