Rabu, 19 September 2001

FILANTROPI ISLAM DI INDONESI


FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA
Oleh TOTO WARSITO,M.Ag

Minggu yang lalu, mesjid kami kedatangan tamu istimewa. Dia adalah seorang pengusaha sukses dari Jakarta. Mesjid kami adalah mesjid yang ke-545 yang dikunjungi dari 1000 mesjid yang direncanakan di seluruh Indonesia. Yang menarik dari kedatangannya ialah caranya berdakwah. Sehabis berjamaah magrib dia membagikan kartu nama yang diselipi uang kertas pecahan limapuluh ribu dan duapuluh ribuan. Di kartu nama itu tertulis trik sukses seorang muslim :1. Punya profesi, 2. Sholat berjamaah tepat waktu, 3. Sedekah secara rutin. “Inilah cara berdakwah yang bisa kami lakukan. Kami selalu bersedekah 20% dari harta yang kami miliki.” Katanya.
Ya, itulah  kedermawanan. Dalam kajian ilmiah biasa disebut dengan Philanthropy (filantropi). Dari segi bahasa filantropi berarti kasih sayang terhadap sesama manusia;kedermawanan;badan amal atau kemanusiaan;dan dapat pula berarti kemanusiaan atau amal. Menurut istilah, filantropi dapat diartikan sebagai keikhlasan menolong dan memberi sebagian harta, tenaga maupun pikiran, secara suka rela untuk kepentingan orang lain. Hal ini dilakukan tanpa memikirkan atau memperhitungkan kepentingan maupun keuntungan diri sendiri. (Uswatun Hasanah,2003).Karenanya, dalam melaksanakan filantropi, seseorang tidak sekedar memberi atau memuaskan keinginan atau kebutuhan diri sendiri, tetapi juga peduli kepada siapa, untuk apa, dan apa dampaknya pemberian tersebut, agar pemberian tersebut benar-benar membawa manfaat bagi yang menerima. Adapun yang dimaksud filantropi Islam, seperti dikemukakan Thomas Silk, dalam hal ini adalah sumbangan material dan finansial dalam masyarakat Islam.
Dalam ajaran Islam, ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah, dan hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan bersama, terkait satu sama lain. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu, hidup manusia akan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk mencapai tujuan kesejahteraan yang dimaksud, selain dari kewajiban zakat, masih disyariatkan juga untuk memberikan sedekah, infak, hibah dan wakaf kepada pihak-pihak yang memerlukan. Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani dan memperdekat hubungan sesama manusia, terutama hubungan antara kelompok yang kuat dengan kelompok yang lemah;antara yang kaya dengan yang miskin.
Apabila dikategorisasikan lembaga-lembaga yang terkait dengan filantropi Islam di Indonesia dapat dibagi empat. Yakni; pertama, lembaga yang menghimpun zakat, infak dan sedekah; kedua yayasan badan wakaf; ketiga, baitul mal wat tamwil; dan keempat, adalah model kepanitiaan pengelola zakat, infak, dan sedekah yang tidak permanen, yang biasanya dibentuk oleh pengurus masjid, organisasi Islam atau lembaga pendidikan yang dibentuk pada saat Ramadhan atau di saat mereka akan membangun masjid, sekolah, pesantren, dan lain-lain.
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia, termasuk kegiatan sosial dan ekonomi, haruslah berlandaskan keimanan. Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid merupakan ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian, realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat dibenarkan dalam Islam, sebab hal ini berarti pengingkaran terhadap tauhid. Menurut ajaran Islam, hak milik mutlak hanya ada pada Allah. Hal ini berarti bahwa hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relative. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam.
Persyaratan-persyaratan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri. Yaitu, dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya. Hak milik perorangan didasarkan atas kebebasan individu yang wajar dan kodrati, sedangkan kerjasama didasarkan atas kebutuhan dan kepentingan bersama. Menurut ajaran Islam, manfaat dan kebutuhan akan materi adalah untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan sekelompok manusia saja.
Dalam ajaran Islam, terdapat dua prinsip utama. Pertama, tidak seorang pun atau sekelompok orang pun yang berhak mengeksploitir orang lain. Kedua, tidak ada sekelompok orang pun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja.
Karenanya, seorang muslim harus mempunyai keyakinan bahwa perekonomian suatu kelompok, bangsa, maupun individu, pada akhirnya akan kembali berada di tangan Allah. Jika seseorang mempunyai keyakinan demikian, dirinya tidak akan diperbudak oleh keduniaan.
Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga. Maka, setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah, dan di depan hukum yang diwahyukan-Nya. Untuk merealisasikan kekeluargaan dan kebersamaan tersebut, harus ada kerjasama dan tolong-menolong. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum, tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi, yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangannya terhadap masyarakat. Agar tidak ada eksploitasi yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, maka Allah melarang umat Islam memakan hak orang lain. Sebagaimana firman-Nya,”Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan (QS.26 :183).
Dengan komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Tetapi, konsep keadilan Islam mengenai distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam memang mentolerir ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Al-Quran disebutkan,”Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki…(QS.16:71).
Dalam ajaran Islam, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Allah, atau diinvestasikan kembali dalam suatu usaha yang akan mendatangkan keuntungan, lapangan kerja, dan penghasilan bagi orang lain.
Mudah-mudahan spirit Ramadhan mampu menggairahkan kembali kedermawanan kita agar orang lain ikut merasakan kenikmatan yang kita miliki, semoga. Wallahu “alam.
Penulis
Ketua AGUPENA ,Guru SMAN Rajagaluh
Dosen STAI PUI Majalengka