Senin, 30 April 2012

KOREKSI PRESIDEN PADA GURU


MENCERMATI KOREKSI PRESIDEN TERHADAP GURU
Oleh : TOTO WARSITO,M.Ag.

Menarik untuk dicermati apa yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Peringatan Hari Guru Nasional 2011beberapa waktu lalu. Pada kesempatan itu Presiden menyampaikan koreksinya terhadap guru. , terutama yang telah lulus sertifikasi. Paling tidak ada tiga koreksi yang disampaikan Presiden. Pertama guru yang sudah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan sertifikasi masih banyak yang belum meningkat kinerjanya. Kedua sebagian guru masih belum menunjukkan kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab terhadap sekolahnya sehingga lebih tertib dan teratur, sehinga sekolah sebagai bagian dari pembentukan karakter belum menunjukkan hasil maksimal. Ketiga Presiden menilai bahwa masih ada guru yang belum benar-benar menjadi panutan. (Radar,1 Des 2011).
Apa yang disampaikan Presiden tersebut mestinya dijadikan sebagai pemicu bagi para guru untuk meningkatkan profesionalismenya. Betapa tidak, sekarang profesi guru sedang banyak disorot. Dengan telah ditingkatkannya penghasilan guru melalui program sertifikasi, tentunya membawa konsekuensi tersendiri bagi guru untuk terus meningkatkan kinerjanya.
Memang jabatan guru ini meminjam istilah Uzer Usman adalah jabatan yang unik.  Mengajar yang merupakan salah satu tugas pokok guru, merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada peserta didik, sangat tergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar merupakan suatu perbuatan atau pekerjaan yang bersifat unik, tetapi sederhana. Dikatakan unik menurut Uzer Usman karena ia berkenaan dengan manusia yang belajar, yakni peserta didik, dan yang mengajar, yakni guru, dan bertalian erat dengan manusia di dalam masyarakat yang kesemuanya menunjukkan keunikan. Bahkan, saking luasnya wilayah kerja  guru, menurut Prof. Mahmud Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung, bahwa wilayah kerja guru terutama guru PAI itu meliputi dunia dan akhirat beserta isinya.  Dikatakan sederhana karena mengajar dilaksanakan dalam keadaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mudah dihayati oleh siapa saja.
Pemahaman akan pengertian dan pandangan mengajar akan banyak memengaruhi peranan dan aktivitas guru dalam mengajar. Sebaliknya aktivitas guru dalam mengajar serta aktivitas siswa dalam belajar sangat bergantung pula pada pemahaman guru terhadap mengajar. Mengajar bukan hanya sekedar proses penyampaian ilmu pengetahuan, melainkan mengandung makna yang lebih luas, yakni terjadinya interaksi manusiawi dengan berbagai aspeknya yang cukup kompleks.
Jabatan guru memang memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Apabila dikelompokkan terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas  dalam bidang kemasyarakatan.
Sebagai sebuah profesi pekerjaan sebagai guru paling tidak memiliki sepuluh kriteria untuk dapat disebut sebagai bidang profesi. (Tafsir,2011). Pertama, profesi harus memiliki suatu keahlian yang  khusus. Artinya keahlian itu tidak  dimiliki oleh profesi lain. Keahlian ini diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus. Kedua, profesi harus dijadikan sebagai pemenuhan panggilan hidup. Oleh karena itu , profesi dikerjakan sepenuh waktu. Sebagai panggilan hidup artinya profesi itu dipilih karena dirasakan itulah panggilan hidupnya, artinya itulah lapangannya. Profesi itu dipilih bukan karena panggilan uang, bukan karena panggilan kedudukan, bukan pula karena terbawa-bawa oleh orang lain. Jadi, ada suatu kesungguhan dalam memilih profesi. Dilakukan sepenuh waktu maksudnya profesi itu dijalani dalam jangka panjang bahkan seumur hidup. Jadi bukan dilakukan secara part-time, melainkan full-time; bukan dilakukan sebagai pekerjaan sambilan atau pekerjaan sementara yang akan ditinggalkan bila ditemukan pekerjaan lain yang dirasakan lebih menguntungkan.
Ketiga, profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya, profesi itu dijalani menurut teori-teorinya. Agar pemegang profesi dapat segera mengetahui adanya teori-teori baru, maka diperlukan adanya organisasi profesi. Organisasi ini menyediakan media profesi (bulletin,majalah). Dengan memuat temuan baru dalam media itu, teori baru itu dapat segera diketahui dan diuji oleh rekan seprofesi. Keempat, profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri. Maksudnya ialah profesi itu merupakan alat dalam mengabdikan diri pada masyarakat  bukan untuk kepentingan diri sendiri seperti untuk mengumpulkan uang dan mengejar kedudukan. Meskipun demikian pemegang profesi boleh menerima uang dan kedudukan, tetapi hal itu hanyalah sebagai penghargaan masyarakat atau Negara terhadap profesi. Karena profesi adalah untuk masyarakat maka wajarlah bila masyarakat membiayainya.
Kelima, profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostic dan kompetensi aplikatif. Kecakapan diagnostic adalah kemampuan mendiagnosa sementara kompetensi aplikatif adalah kewenangan menggunakan teori-teori yang ada di dalam keahliannya. Penggunaan itu harus didahului oleh diagnosis. Seorang yang tidak mampu mendiagnosis tentunya tidak  berwenang melakukan apa-apa terhadap kliennya. Kewenangan aplikatif biasanya berdasarkan surat keterangan, berupa ijazah atau sertifikat, yang menunjukkan kewenangan seseorang pemegang suatu profesi. Keenam, pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan profesinya. Ketujuh, profesi hendaknya mempunyai kode etik, ini disebut kode etik profesi. Gunanya untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan profesi.
Kedelapan, profesi harus mempunyai klien yang jelas. Klien di sini maksudnya adalah pemakai jasa profesi. Kesembilan, profesi memerlukan organisasi profesi, gunanya untuk keperluan meningkatkan mutu profesi itu sendiri. Kesepuluh, mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang yang lain.
Tugas guru dalam bidang kemanuasiaan meliputi bahwa guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga menjadi idola para siswanya. Pelajaran apa pun yang diberikannya, hendaknya dapat menjadikan motivasi bagi siswanya dalam belajar. Bila soorang guru dalam penampilannya sudah tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para peserta didiknya. Para siswa akan enggan  menghadapi guru yang tidak menarik. Pelajaran tidak dapat diserap sehingga siswa mulai bosan menghadapi pelajaran yang diberikan oleh guru.
Masyarakat menempatkan guru pada tempat yang terhormat di lingkungannya, karena dari guru diharapkan masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Ini berarti bahwa guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju kepada pembentukan manusia Indonesia yang paripurna.
Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting, apalagi bagi suatu bangsa yang sedang membangun. Semakin akurat para guru melaksanakan tugas profesinya, semakin terjamin terciptanya manusia pembangunan. Dengan demikian, potret dan wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat.
Sejak dulu sampai sekarang , dan mudah-mudahan sampai di masa yang akan datang, menjadi panutan masyarakat. Guru tidak hanya diperlukan oleh para peserta didik di ruang-ruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam menyelesaikan berbagai per-masalahan yang dihadapi. Tampaknya masyarakat mendudukan guru pada tempat yang terhormat dalam kehidupan masyarakat, yakni di depan member suri teladan, di tengah-tengah membangun, dan di belakang memberikan dorongan dan motivasi. Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Kedudukan guru yang demikian itu merupakan penghargaan dari masyarakat yang tidak kecil artinya bagi guru, tetapi juga sekaligus merupakan tantangan yang menuntut prestise dan prestasi yang senantiasa terupuji dan teruji dari setiap guru, bukan saja di depan kelas, tidak saja di batas-batas pagar sekolah, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat. Wallahu’alam.


Penulis :
Sekretaris MGMP PAI Provinsi Jawa Barat,Dosen STAI PUI Majalengka Ketua Agupena Kab. Majalengka


Sabtu, 07 April 2012

KARAKTER BANGSA


PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA  APA DAN BAGAIMANA ???
Oleh : TOTO WARSITO,S.Ag.M.Ag.*
Munculnya kembali gagasan tentang pendidikan karakter bangsa, seperti yang diintruksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, harus diakui sebagai tamparan keras terhadap dunia pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan semakin berkembangnya pandangan dan penilaian dalam masyarakat, bahwa pendidikan dalam berbagai jenjang “telah gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, karakter dan budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi, banyak peserta didik sering dinilai tidak hanya kurang memiliki kesantunan, baik di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat, tetapi juga sering terlibat dalam tindakan kekerasan massal. Banyak diantara mereka yang alim dan bijak di rumah, tetapi nakal di sekolah. Begitu juga sebaliknya. Terlibat dalam tawuran, geng motor, penggunaan obat-obat terlarang, seks bebas dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya.
Apa sebenarnya yang disebut dengan Pendidikan Karakter Bangsa itu ? Menurut Simon Philips  (2008), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.
Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian . Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari pendapat di atas dipahami bahwa karakter itu berkaitan erat dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral yang baik. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya.
Kita semua patut bersyukur telah diingatkan kembali tentang pentingnya pendidikan karakter bangsa ini. Memang kita patut menyadari bahwa selain memperkecil resiko kehancuran, karakter juga menjadi modal yang sangat penting untuk bersaing dan bekerja sama secara tangguh dan terhormat di tengah-tengah bangsa lain. Karakterlah yang membuat bangsa Jepang cepat bangkit sesudah kekalahannya dalam Perang Dunia II dan meraih kembali martabatnya di dunia internasional. Karakterlah yang membuat bangsa Vietnam tidak bisa ditaklukkan, bahkan mengalahkan dua bangsa yang secara teknologi dan ekonomi jauh lebih maju, yaitu Perancis dan Amerika. Pembangunan karakterlah yang membuat Korea Selatan sekarang jauh lebih maju dari Indonesia, walaupun pada tahun 1962 keadaan kedua negara secara ekonomi dan teknologi hampir sama. Pembangunan karakterlah yang membuat para pejuang kemerdekaan berhasil menghantar bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaannya (Gedhe Raka, 1997 ).
Pertanyaannya kemudian adalah tanggung jawab siapa pendidikan karakter bangsa ini? Tentunya semua pihak bertanggung jawab atas berlangsungnya pendidikan karakter ini. Mulai dari guru di sekolah, orang tua, pejabat, tokoh masyarakat, selebritis, teman,  dan juga media baik cetak maupun elektronik.
Menurut Azyumardi Azra (2002) Pola pembinaan pendidikan karakter bangsa harus dikembangkan dengan menekankan keterpaduan antara tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pendidikan karakter tidak akan berhasil selama ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.

Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. C. Thomas Phillip berpandangan bahwa keluarga hendaklah kembali menjadi school of loves,sekolah untuk kasih sayang. Azyumardi menambahkan  bahwa dalam perspektif Islam, keluarga disebut sebagai madrasah mawwadah warrahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.

Lingkungan kedua adalah sekolah. Sekolah pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat transfer ilmu pengetahuan belaka, melainkan lembaga yang mengusahakan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai. Pembentukan karakter melalui sekolah tidak bisa dilakukan semta-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi melalui penanaman nilai-nilai. Secara umum nilai biasanya mencakup dua bidang pokok yakni estetika dan etika. Estetika mengacu kepada hal-hal yang dipandang manusia sebagai “indah” apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada tingkah laku yang pantas berdasarkan standar yang berlaku, baik yang bersumber dari agama maupun adat istiadat.

Setidaknya ada tidak pendekatan yang bisa dilakukan dalam usaha pembentukan karakter melalui pendidikan agama di sekolah. ,Pertama, menerapkan pendekatan modelling atau exemplary atau uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lainnya di lingkungan sekolah hendaknya mampu menjadi uswah hasanah yang hidup bagi setiap peserta didik.

Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasi kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah memberi penghargaan, menumbuhsuburkan nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah berlakunya nilai-nilai yang buruk. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai, melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap   pilihan dan tindakan, membiasakan bertindak dan bersikap atas niat dan prasangka baik dan tujuan-tujuan ideal.

Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan akhlakul karimah. Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan nilai-nilai akhlakul karimah kedalam setiap mata pelajaran yang ada di sekolah di samping mata pelajaran agama. Terhadap mata pelajaran-mata pelajaran lain pun sebaiknya dilakukan reorientasi baik dari segi isi, muatan maupun pendekatannya, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan karakter.

Lingkungan ketiga adalah masyarakat luas. Lingkungan ini memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai yang baik. Dalam konteks itu, Alquran dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama dan solidaritas yang sama. Di sisnilah menurut Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma’ruf dan nahyi munkar serta ajaran tentang fardu kifayah, yaitu tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.

Kekuatan akhlak dan moral yang tercermin pada perilaku yang baik dan benar merupakan inti utama ajaran Islam. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dengan akhlak dan moral yang baik, segala potensi yang dimiliki manusia, seperti ilmu pengetahuan, kekayaan, jabatan dan potensi-potensi lainnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama( QS. An-Nahl :97). Sebaliknya, dengan akhlak dan moral yang buruk, segala potensi tersebut akan sia-sia, bahkan cenderung merusak. ( QS.Thaaha: 124-126 ).
Menurut Dr. Sukamto setidaknya terdapat dua belas poin nilai-nilai yang perlu diajarkan kepada peserta didik dalam upaya memberikan pendidikan karakter yaitu kejujuran, loyalitas dan dapat diandalkan, hormat, cinta, ketidakegoisan dan sensitifitas, baik hati dan pertemanan, keberanian, kedamaian, mandiri dan potensial, disiplin diri dan moderasi, kesetiaan dan kemurnian serta keadilan dan kasih sayang. Selanjutnya paling tidak terdapat sembilan indicator keberhasilan membangun karakter yaitu : 1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty) 2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness) 3. Kejujuran/Amanah dan Arif (trustworthines, honesty, and tactful) 4. Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience) 5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation) 6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm) 7. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership) 8. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty) 9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity).
Bila kita gagal mengedepankan pengembangan pendidikan karakter bangsa,  jangan berharap banyak akan capaian keberhasilan masa depan Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.***

*Penulis adalah Guru PAI SMAN 1 Rajagaluh Ketua AGUPENA Kab. Majalengka e-mail       toto_jmp@yahoo.co.id

Jumat, 06 April 2012

minat menulis''?


MENGGAIRAHKAN MINAT MENULIS SISWA
Oleh Toto Warsito,MAg

Mulai awal Maret ini selama empat bulan ke depan, ada yang berbeda di halaman belakang koran Radar Cirebon. Rubrik yang biasa diisi dengan Xpresi itu, kini menampilkan hasil kreasi dari para penulis muda sekolah-sekolah yang mengikuti lomba Xpresi Koran Sekolah yang digagas Radar Cirebon. Setidaknya sudah terdaftar tigapuluh sekolah se Ciayumajakuning yang siap bertarung kemampuannya dalam hal menulis.
Gagasan yang dimunculkan Radar Cirebon ini patut dihargai dan tentunya didukung semua pihak. Paling tidak kini para siswa yang masih belajar menulis memiliki wahana untuk belajar dan berlatih lebih giat dan menunjukkan kreativitasnya dalam hal menulis. Memang, selain minat baca yang harus digairahkan, yang tak kalah penting juga menggairahkan minat menulis.
Menulis adalah sebuah keterampilan. Keterampilan harus diasah dan dilatih. Jadi keterampilan menulis membutuhkan latihan; sebagaimana seorang pemain sepak bola, dia akan disebut sebagai pemain bola bila mau berlatih dan bermain bola serta sukses bermain bola di lapangan hijau. Seorang penulis pun harus mau memulai menulis dengan cara menulis.
Marion van Horne seorang ahli kreativitas barat memberi jalan termudah berlatih menulis, yakni”tulislah apa yang kau lihat”. Lyndon B. Johnson, ahli kreativitas lainnya , percaya bahwa segala sesuatu harus segera dimulai tanpa banyak bicara karena, “jika anda banyak bicara, anda tidak belajar”. Henry Guntur Tarigan seorang ahli Linguis (Erwan,2008) mengatakan bahwa menulis adalah kemampuan yang membedakan kaum terpelajar dan bukan terpelajar. Jadi menulislah, karena gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan karya. Edward Thorndike, seorang penulis ternama di barat memberi satu pemeo bahwa segala warna akan pudar, kuil akan ambruk, kerajaan akan runtuh, tetapi kata-kata bijaksana akan tetap abadi. Kata- kata bijaksana itu akan abadi dalam wadah tulisan, baik berupa manuskrip maupun buku hingga dunia maya sekalipun. Jadi, tulislah sesuatu untuk orang lain atau tulislah sesuatu untuk diri sendiri. Kata-kata bijaksana adalah sahabat keabadian sejarah kehidupan manusia.
Tidak Ada Istilah Tidak Bakat
Sebagai seorang guru yang kebetulan diberi tugas membimbing ekskul jurnalis di sekolah, penulis sering mendengar keluhan dari para siswa bahwa ia tidak berbakat menulis, dan merasa bahwa menulis itu memerlukan waktu yang banyak dan susah memulainya.” Di pikiran mah banyak Pa, tapi menulisnya susah.” Begitu katanya.

Hampir semua penulis terkenal sepakat mengatakan bahwa semua orang berbakat menulis. Seperti yang dikatakan salah satu  penulis buku-buku best seller Andrias Harefa berikut ini. “Yang mungkin diperlukan bukanlah suatu bakat istimewa, tetapi lebih pada keinginan dan minat yang besar untuk mau belajar, membangun kebiasaan menuangkan gagasan lewat tulisan.”
Yang paling penting adalah  mengubah mindset dan konstuksi mental. Mindset kita harus mengatakan bahwa menulis itu gampang, jika mereka bisa mengapa saya tidak ?, saya pasti bisa. Selain itu harus juga dibangun mental untuk memiliki keinginan yang besar, tekad dan kemauan untuk belajar teknik-teknik menulis, dan menemukan ide, serta mau meluangkan waktu untuk menulis.
Ada yang bilang menulis itu sulit, ada yang bilang menulis itu mudah. Yang benar menulis itu mudah. Tulislah apa saja yang ada di pikiran anda, jika masih juga sulit, mulailah menulis seperti bercerita tentang pengalaman pribadi yang paling berkesan atau paling menyebalkan. Untuk langkah awal , mulailah dengan tema-tema yang dikuasai atau apa saja yang menjadi hobi. Mudah kok jadi penulis, menulis itu semudah anda berbicara. Jangan pernah merasa tulisan tidak berbobot, takut bahasanya tidak sesuai EYD, lebih-lebih takut tulisannya ditolak penerbit.
Tips Menulis Bagi Pemula
Bagi anda yang baru memulai karier sebagai penulis atau bagi para siswa yang tengah memulai belajar menjadi penulis, berikut disampaikan beberapa tips menulis ( M Hasyim Ashari,2007).
Pertama, bagi anda yang baru mempunyai keinginan untuk menulis, tumbuhkan motivasi dan ketertarikan diri anda dalam dunia menulis terlebih dahulu. Tidak ada istilah berbakat dan tidak berbakat dalam menulis, yang penting ada kemauan dan banyak belajar menulis.
Kedua, banyaklah membaca. Ada prinsip sederhana dalam dunia tulis menulis yaitu “filsafat kencing”. Jika anda tidak pernah minum air, maka air kencing yang keluar juga sedikit, air yang keluar hanya berasal dari air yang ada dalam makanan. Semakin banyak dan sering meminum air, air yang keluar juga semakin banyak dan semakin sering keinginan untuk kencing. Meminum air diibaratkan dengan membaca. Itu artinya, semakin banyak  yang dibaca, maka semakin banyak pula sesuatu yang bisa ditulis. Semakin sering membaca akan semakin banyak ide yang keluar untuk ditulis.
Ketiga, banyak-banyaklah melakukan riset. Jika ingin tulisan anda berbobot, anda harus banyak melakukan riset, kecuali untuk naskah jenis fiksi, seperti cerpen atau novel. Sebagian orang salah mengerti tentang pekerjaan menulis. Anggapannya adalah menjadi penulis hanyalah menulis dan menulis saja, adalah salah besar. Seorang penulis yang baik akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan riset daripada menulis. Pengertian riset di sini bisa bermacam-macam, bisa membaca, mengamati, menonton, dan mencatat. Bacalah sejumlah buku, yang pada waktu biasa tidak akan anda baca, bacalah sejumlah koran, tabloid atau majalah, simaklah berita di televisi, dengarkanlah berita di radio. Tontonlah sejumlah film yang tidak hanya anda sukai. Ke luarlah dari rumah, berjalan-jalan, dan bertemulah dengan orang yang berbeda-beda, pasti akan memperkaya pengetahuan anda. Anda tidak akan pernah tahu kapan Anda membutuhkan pengetahuan anda nanti.
Keempat, bawalah selalu buku catatan. Sebaiknya ke mana pun anda pergi bawalah selalu buku catatan. Anda tentu tidak tahu, kapan ide brillian itu muncul. Ketika ide tersebut muncul, anda selalu siap untuk mencatatnya. Sekarang seorang penulis dimudahkan dengan teknologi. Anda bisa mengganti buku catatan itu dengan laptop, tablet pc, PDA, smartphone, atau gadget lain yang anda sukai. Prinsipnya selalu siap mencatat ide kapan pun, di mana pun. Bisa saja anda mencatatnya di dalam ingatan, tapi pastikan anda bukan orang yang mudah lupa.
Bagaimana Mencari Ide ?
Sebenarnya di sekitar kita bertebaran ide-ide. Mungkin dilewatkan begitu saja. Sempatkan diri anda membaca lebih banyak. Sediakan waktu khusus untuk membaca, sedikitnya 30 menit sehari. Baca apa saja. Majalah, koran, buku, novel, roman, sastra. Apa saja yang menarik perhatian anda. Semua yang anda baca bisa menjadi ide.
Namun kadang-kadang, kita cenderung cepat membaca suatu headline. Jari-jari kita dengan mudah mengganti channel TV. Akibatnya kita memperlakukan otak kita seperti tong sampah. Semua informasi masuk dan terbuang begitu saja. Kita sudah merasa bahagia dengan hanya sebatas mengetahui informasi.
Sekarang anda harus mulai belajar melihat dari sudut pandang yang berbeda terhadap setiap peristiwa yang dibaca dari media, atau diamati langsung dari lingkungan sekitar. Anda harus mengubah cara anda memperlakukan informasi. Karena jika tidak, apa yang anda amati sebenarnya lewat begitu saja.
Pada saat anda membaca sesuatu. Berhenti. Benar-benar berhenti. Kemudian pikirkan apa saja yang bisa anda lakukan dengan informasi itu. Imajinasikan. Biarkan pikiran liar anda berkelana. Kemudian mulailah tulis apa yang menarik perhatian anda itu. Jangan ragu-ragu mulailah.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya teringat apa yang disampaikan teman saya Erwan Juhara Ketua Agupena Jawa Barat sebagai berikut. Kunci sukses menulis adalah membaca, membaca, membaca dan berlatih, berlatih, berlatih serta menulis, menulis, menulis ! Selamat berkompetisi para jurnalis muda SMA/SMK. Semoga kalian menjadi penulis-penulis handal. Amin.
Penulis Pembina Ekskul Jurnalistik SMAN 1 Rajagaluh Ketua Asosiasi Guru Penulis Majalengka