PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA APA DAN BAGAIMANA ???
Oleh : TOTO WARSITO,S.Ag.M.Ag.*
Munculnya
kembali gagasan tentang pendidikan karakter bangsa, seperti yang diintruksikan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, harus diakui sebagai tamparan keras terhadap
dunia pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan semakin berkembangnya pandangan
dan penilaian dalam masyarakat, bahwa pendidikan dalam berbagai jenjang “telah
gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, karakter dan
budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi, banyak peserta didik sering dinilai
tidak hanya kurang memiliki kesantunan, baik di sekolah, rumah dan lingkungan
masyarakat, tetapi juga sering terlibat dalam tindakan kekerasan massal. Banyak
diantara mereka yang alim dan bijak di rumah, tetapi nakal di sekolah. Begitu
juga sebaliknya. Terlibat dalam tawuran, geng motor, penggunaan obat-obat
terlarang, seks bebas dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya.
Apa
sebenarnya yang disebut dengan Pendidikan Karakter Bangsa itu ? Menurut Simon Philips (2008), karakter adalah kumpulan tata nilai
yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku
yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007) memahami bahwa karakter sama
dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik,
atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.
Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian . Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah
laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah
orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang
berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan
karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’.
Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character)
apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih
dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan
perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak
perlu dipikirkan lagi.
Dari pendapat di atas dipahami bahwa karakter itu berkaitan erat dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang
berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral yang baik. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit
mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan
dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal
ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan
secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character
strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan
(virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah
bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi
dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat
bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya.
Kita
semua patut bersyukur telah diingatkan kembali tentang pentingnya pendidikan
karakter bangsa ini. Memang kita patut menyadari bahwa selain memperkecil resiko kehancuran, karakter
juga menjadi modal yang sangat penting untuk bersaing dan bekerja sama secara
tangguh dan terhormat di tengah-tengah bangsa lain. Karakterlah yang membuat
bangsa Jepang cepat bangkit sesudah kekalahannya dalam Perang Dunia II dan
meraih kembali martabatnya di dunia internasional. Karakterlah yang membuat
bangsa Vietnam tidak bisa ditaklukkan, bahkan mengalahkan dua bangsa yang
secara teknologi dan ekonomi jauh lebih maju, yaitu Perancis dan Amerika.
Pembangunan karakterlah yang membuat Korea Selatan sekarang jauh lebih maju
dari Indonesia, walaupun pada tahun 1962 keadaan kedua negara secara ekonomi
dan teknologi hampir sama. Pembangunan karakterlah yang membuat para pejuang
kemerdekaan berhasil menghantar bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaannya
(Gedhe Raka, 1997 ).
Pertanyaannya
kemudian adalah tanggung jawab siapa pendidikan karakter bangsa ini? Tentunya
semua pihak bertanggung jawab atas berlangsungnya pendidikan karakter ini.
Mulai dari guru di sekolah, orang tua, pejabat, tokoh masyarakat, selebritis,
teman, dan juga media baik cetak maupun
elektronik.
Menurut Azyumardi Azra (2002) Pola pembinaan pendidikan karakter bangsa
harus dikembangkan dengan menekankan keterpaduan antara tiga lingkungan
pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan yang
nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pendidikan karakter
tidak akan berhasil selama ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan
dan harmonisasi.
Keluarga sebagai
lingkungan pendidikan pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. C.
Thomas Phillip berpandangan bahwa keluarga hendaklah kembali menjadi school of loves,sekolah untuk kasih
sayang. Azyumardi menambahkan bahwa dalam
perspektif Islam, keluarga disebut sebagai madrasah
mawwadah warrahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih
sayang.
Lingkungan kedua
adalah sekolah. Sekolah pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat transfer ilmu
pengetahuan belaka, melainkan lembaga yang mengusahakan proses pembelajaran
yang berorientasi pada nilai. Pembentukan karakter melalui sekolah tidak bisa
dilakukan semta-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi melalui penanaman
nilai-nilai. Secara umum nilai biasanya mencakup dua bidang pokok yakni
estetika dan etika. Estetika mengacu kepada hal-hal yang dipandang manusia
sebagai “indah” apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada tingkah
laku yang pantas berdasarkan standar yang berlaku, baik yang bersumber dari agama
maupun adat istiadat.
Setidaknya ada tidak
pendekatan yang bisa dilakukan dalam usaha pembentukan karakter melalui
pendidikan agama di sekolah. ,Pertama,
menerapkan pendekatan modelling atau exemplary atau uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan
sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang
benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lainnya
di lingkungan sekolah hendaknya mampu menjadi uswah hasanah yang hidup bagi setiap peserta didik.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasi kepada
peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan buruk.
Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah memberi penghargaan,
menumbuhsuburkan nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah
berlakunya nilai-nilai yang buruk. Memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai,
melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai
konsekuensi dari setiap pilihan dan
tindakan, membiasakan bertindak dan bersikap atas niat dan prasangka baik dan
tujuan-tujuan ideal.
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan akhlakul karimah. Hal ini bisa dilakukan
dengan menerapkan nilai-nilai akhlakul
karimah kedalam setiap mata pelajaran yang ada di sekolah di samping mata
pelajaran agama. Terhadap mata pelajaran-mata pelajaran lain pun sebaiknya
dilakukan reorientasi baik dari segi isi, muatan maupun pendekatannya, sehingga
mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul
berhasil membantu pembentukan karakter.
Lingkungan ketiga
adalah masyarakat luas. Lingkungan ini memiliki pengaruh besar terhadap
keberhasilan penanaman nilai-nilai yang baik. Dalam konteks itu, Alquran dalam
banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaaan anggota masyarakat menyangkut
pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama dan
solidaritas yang sama. Di sisnilah menurut Quraish Shihab, muncul gagasan dan
ajaran tentang amar ma’ruf dan nahyi munkar serta ajaran tentang fardu
kifayah, yaitu tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik
dan mencegah nilai-nilai yang buruk.
Kekuatan akhlak dan moral yang tercermin
pada perilaku yang baik dan benar merupakan inti utama ajaran Islam. Oleh
karena itu, Nabi Muhammad SAW diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan
akhlak manusia. Dengan akhlak dan moral yang baik, segala potensi yang dimiliki
manusia, seperti ilmu pengetahuan, kekayaan, jabatan dan potensi-potensi
lainnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama( QS.
An-Nahl :97). Sebaliknya, dengan akhlak dan moral yang buruk, segala potensi
tersebut akan sia-sia, bahkan cenderung merusak. ( QS.Thaaha: 124-126 ).
Menurut Dr. Sukamto setidaknya terdapat
dua belas poin nilai-nilai yang perlu diajarkan kepada peserta didik dalam
upaya memberikan pendidikan karakter yaitu kejujuran, loyalitas dan dapat
diandalkan, hormat, cinta, ketidakegoisan dan sensitifitas, baik hati dan
pertemanan, keberanian, kedamaian, mandiri dan potensial, disiplin diri dan
moderasi, kesetiaan dan kemurnian serta keadilan dan kasih sayang. Selanjutnya
paling tidak terdapat sembilan indicator keberhasilan membangun karakter yaitu
: 1. Cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty) 2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian (responsibility,
excellence, self reliance, discipline, orderliness) 3. Kejujuran/Amanah dan Arif (trustworthines, honesty, and tactful) 4. Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience) 5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama (love, compassion,
caring, empathy, generousity, moderation, cooperation) 6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras (confidence, assertiveness,
creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm) 7. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership) 8. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty) 9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness,
unity).
Bila
kita gagal mengedepankan pengembangan pendidikan karakter bangsa, jangan berharap banyak akan capaian
keberhasilan masa depan Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.***
*Penulis
adalah Guru PAI SMAN 1 Rajagaluh Ketua AGUPENA Kab. Majalengka e-mail toto_jmp@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar