HISAB DAN RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL
BULAN QAMARIYAH
Oleh TOTO WARSITO,MAg
Setiap kali
kita akan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan serta ketika akan
mengakhirinya, kita selalu menyaksikan
adanya perbedaan di kalangan umat Islam baik memulai maupun mengakhirinya.
Tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat misalnya, selalu berbeda dengan
kebanyakan umat Islam pada umumnya. Begitu pula kadang-kadang antara NU dan
Muhammadiyah berbeda. Bahkan tahun ini antara Pemerintah dengan Muhammadiyah
pun berbeda pendapat. Meskipun pada penentuan awal Ramadhan semua sepakat jatuh
pada hari Senin 1 Agustus 2011, tetapi untuk penentuan Hari Raya Idul Fitri
mereka berbeda pendapat. Apa sebetulnya yang menyebabkan perbedaan ini ?
Untuk
menjawabnya, tentunya kita perlu membuka kembali bagaimana teknik penentuan
awal bulan qamariyah, yaitu dengan teknik hisab dan rukyat.
Ilmu hisab
yang dalam bahasa Inggrisnya disebut arithmetic, adalah suatu ilmu pengetahuan
yang membahas tentang seluk beluk perhitungan. Hisab itu sendiri berarti
hitung. Jadi ilmu hisab adalah ilmu hitung.(Almanak Hisab Rukyat,2010).
Ilmu hisab
modern, dalam prakteknya banyak mempergunakan ilmu pasti yang kebenarannya
sudah tidak disangsikan lagi. Ilmu tersebut adalah Spherical Trigonometry (Ilmu
Ukur Segitiga Bola). Di samping itu juga, ilmu hisab modern mempergunakan data
yang dikontrol oleh observasi setiap saat. Atas dasar inilah banyak kalangan
yang mengatakan bahwa ilmu hisab ini memberikan hasil yang qat’I dan yakin.
Namun perlu
diketahui bahwa ilmu hisab hanya memberikan hasil perhitungan dalam soal waktu
dan posisi saja. Dalam posisi hilal awal bulan, ilmu hisab tidak mengatakan
bahwa hilal pada posisi tertentu pasti atau mustahil kelihatan. Kelihatan atau
tidaknya itu tegantung kepada hasil rukyat pada waktunya.
Rukyat
adalah melihat hilal pada saat matahari terbenam tanggal 29 bulan qamariyah.
Kalau hilal berhasil dirukyat, maka sejak matahari terbenam tersebut sudah
dihitung bulan baru. Kalau hilal idak terlihat, maka malam itu dan keesokan
harinya masih merupakan bulan yang
sedang berlangsung, bulan itu genap berumur 30 hari ( istikmal ). Berhasil
tidaknya rukyatul hilal tergantung pada kondisi ufuk sebelah barat tempat
peninjau, posisi hilal itu sendiri dan kejelian mata si peninjau.
Tidak seperti
halnya penentuan waktu shalat dan arah qiblat, yang nampaknya setiap orang
sepakat terhadap hasil hisab, namun penentuan awal bulan ini menjadi masalah
yang diperselisihkan tentang cara yang dipakainya. Satu pihak ada yang
mengharuskan hanya dengan rukyat saja dan pihak lainnya ada yang membolehkannya
dengan hisab. Juga di antara golongan rukyat pun masih ada hal-hal yang
diperselisihkan seperti halnya yang terdapat pada golongan hisab. Oleh karena
itu masalah penentuan awal bulan ini, terutama bulan-bulan yang ada hubungannya
dengan puasa dan haji, selalu menjadi masalah sensitive dan sangat
dikhawatirkan oleh pemerintah, sebab sering kali terjadi perselisihan di
kalangan sementara masyarakat hanya karena berlainan hari dalam memulai dan
mengakhiri puasa Ramadhan.
Ketidaksepakatan
tersebut disebabkan dasar hukum yang dijadikan alasan oleh ahli hisab tidak bisa diterima oleh ahli
rukyat dan dasar hukum yang dikemukakan oleh ahli rukyat dipandang oleh ahli
hisab bukan merupakan satu-satunya dasar hukum yang membolehkan cara dalam
menentukan awal bulan qamariyah ini.
Dasar hukum
yang dipegang oleh ahli rukyat antara lain hadits riwayat Bukhari Muslim dari
Abu Hurairah:”Berpuasalah kamu jika melihat hilal dan berbukalah jika melihat
hilal. Jika keadaan mendung maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban 30 hari”.
Sedang dasar hukum yang dikemukakan oleh ahli hisab antara lain adalah
Al-Qur’an surat Yunus ayat 5 :” Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu)…..”.
Kalau kita
ikuti pertentangan tersebut, maka terlihatlah bahwa masing-masing pihak tetap
mempertahankan pendapatnya masing-masing, seolah-olah tidak aka nada habisnya.
Sebetulnya rukyat dan hisab mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing
dan bisa saling membantu satu sama lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa hisab
sebagaimana rukyat adalah bukan satu-satunya alat untuk menentukan awal bulan,
namun kedua-duanya sama-sama merupakan cara yang mempunyai kekuatan dan
kelemahan masing-masing. Kalau kita gabungkan, maka kedua cara itu akan saling
menguatkan dan saling membantu menuju kesempurnaan. Tugas kita adalah
meningkatkan kualitas ilmu hisab yang telah dimiliki dan menggunakan metode
rukyat yang sudah jelas banyak sekali manfaatnya baik dari segi hokum maupun
ilmu pengetahuan.
Untuk
mengatasai agar umat Islam tidak terpecah belah, maka hendaknya semua hasil
hisab dan rukyat disampaikan kepada hakim (ulil amri), kemudian diolah,
dimusyaearahkan dengan berpijak kepada kebenaran. Kemudian dianjurkan kepada
para ahli (Ormas Islam) untuk tidak mengumumkan hasilnya kepada masyarakat, belum ada pengumuman resmi dari pemerntah.
Hal ini sesuai dengan tuntunan Nabi Saw, di mana pada masa itu kalau ada orang
yang melihat hilal, ia selalu melapor kepada Nabi. Lalu Nabi mengecek, dan
kalau Nabi sudah yakin barulah beliau mengumumkannya kepada umat.
Semoga ke
depan kita akan menyaksikan kebersamaan dalam melaksanakan perayaan Idul Fitri
di negeri ini. Wallahu ‘alam.
Penulis
Guru SMAN
Rajagaluh Dosen STAI PUI Majalengka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar