Jumat, 06 Juli 2012

HISAB DAN RUKYAT


HISAB DAN RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH
Oleh TOTO WARSITO,MAg

Setiap kali kita akan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan serta ketika akan mengakhirinya, kita selalu  menyaksikan adanya perbedaan di kalangan umat Islam baik memulai maupun mengakhirinya. Tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat misalnya, selalu berbeda dengan kebanyakan umat Islam pada umumnya. Begitu pula kadang-kadang antara NU dan Muhammadiyah berbeda. Bahkan tahun ini antara Pemerintah dengan Muhammadiyah pun berbeda pendapat. Meskipun pada penentuan awal Ramadhan semua sepakat jatuh pada hari Senin 1 Agustus 2011, tetapi untuk penentuan Hari Raya Idul Fitri mereka berbeda pendapat. Apa sebetulnya yang menyebabkan perbedaan ini ?
Untuk menjawabnya, tentunya kita perlu membuka kembali bagaimana teknik penentuan awal bulan qamariyah, yaitu dengan teknik hisab dan rukyat.
Ilmu hisab yang dalam bahasa Inggrisnya disebut arithmetic, adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan. Hisab itu sendiri berarti hitung. Jadi ilmu hisab adalah ilmu hitung.(Almanak Hisab Rukyat,2010).
Ilmu hisab modern, dalam prakteknya banyak mempergunakan ilmu pasti yang kebenarannya sudah tidak disangsikan lagi. Ilmu tersebut adalah Spherical Trigonometry (Ilmu Ukur Segitiga Bola). Di samping itu juga, ilmu hisab modern mempergunakan data yang dikontrol oleh observasi setiap saat. Atas dasar inilah banyak kalangan yang mengatakan bahwa ilmu hisab ini memberikan hasil yang qat’I dan yakin.
Namun perlu diketahui bahwa ilmu hisab hanya memberikan hasil perhitungan dalam soal waktu dan posisi saja. Dalam posisi hilal awal bulan, ilmu hisab tidak mengatakan bahwa hilal pada posisi tertentu pasti atau mustahil kelihatan. Kelihatan atau tidaknya itu tegantung kepada hasil rukyat pada waktunya.
Rukyat adalah melihat hilal pada saat matahari terbenam tanggal 29 bulan qamariyah. Kalau hilal berhasil dirukyat, maka sejak matahari terbenam tersebut sudah dihitung bulan baru. Kalau hilal idak terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan  yang sedang berlangsung, bulan itu genap berumur 30 hari ( istikmal ). Berhasil tidaknya rukyatul hilal tergantung pada kondisi ufuk sebelah barat tempat peninjau, posisi hilal itu sendiri dan kejelian mata si peninjau.
Tidak seperti halnya penentuan waktu shalat dan arah qiblat, yang nampaknya setiap orang sepakat terhadap hasil hisab, namun penentuan awal bulan ini menjadi masalah yang diperselisihkan tentang cara yang dipakainya. Satu pihak ada yang mengharuskan hanya dengan rukyat saja dan pihak lainnya ada yang membolehkannya dengan hisab. Juga di antara golongan rukyat pun masih ada hal-hal yang diperselisihkan seperti halnya yang terdapat pada golongan hisab. Oleh karena itu masalah penentuan awal bulan ini, terutama bulan-bulan yang ada hubungannya dengan puasa dan haji, selalu menjadi masalah sensitive dan sangat dikhawatirkan oleh pemerintah, sebab sering kali terjadi perselisihan di kalangan sementara masyarakat hanya karena berlainan hari dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan.
Ketidaksepakatan tersebut disebabkan dasar hukum yang dijadikan alasan  oleh ahli hisab tidak bisa diterima oleh ahli rukyat dan dasar hukum yang dikemukakan oleh ahli rukyat dipandang oleh ahli hisab bukan merupakan satu-satunya dasar hukum yang membolehkan cara dalam menentukan awal bulan qamariyah ini.
Dasar hukum yang dipegang oleh ahli rukyat antara lain hadits riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah:”Berpuasalah kamu jika melihat hilal dan berbukalah jika melihat hilal. Jika keadaan mendung maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban 30 hari”. Sedang dasar hukum yang dikemukakan oleh ahli hisab antara lain adalah Al-Qur’an surat Yunus ayat 5 :” Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)…..”.
Kalau kita ikuti pertentangan tersebut, maka terlihatlah bahwa masing-masing pihak tetap mempertahankan pendapatnya masing-masing, seolah-olah tidak aka nada habisnya. Sebetulnya rukyat dan hisab mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing dan bisa saling membantu satu sama lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa hisab sebagaimana rukyat adalah bukan satu-satunya alat untuk menentukan awal bulan, namun kedua-duanya sama-sama merupakan cara yang mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Kalau kita gabungkan, maka kedua cara itu akan saling menguatkan dan saling membantu menuju kesempurnaan. Tugas kita adalah meningkatkan kualitas ilmu hisab yang telah dimiliki dan menggunakan metode rukyat yang sudah jelas banyak sekali manfaatnya baik dari segi hokum maupun ilmu pengetahuan.
Untuk mengatasai agar umat Islam tidak terpecah belah, maka hendaknya semua hasil hisab dan rukyat disampaikan kepada hakim (ulil amri), kemudian diolah, dimusyaearahkan dengan berpijak kepada kebenaran. Kemudian dianjurkan kepada para ahli (Ormas Islam) untuk tidak mengumumkan hasilnya  kepada masyarakat,  belum ada pengumuman resmi dari pemerntah. Hal ini sesuai dengan tuntunan Nabi Saw, di mana pada masa itu kalau ada orang yang melihat hilal, ia selalu melapor kepada Nabi. Lalu Nabi mengecek, dan kalau Nabi sudah yakin barulah beliau mengumumkannya kepada umat.
Semoga ke depan kita akan menyaksikan kebersamaan dalam melaksanakan perayaan Idul Fitri di negeri ini. Wallahu ‘alam.
Penulis
Guru SMAN Rajagaluh Dosen STAI PUI Majalengka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar